Surabaya (prapanca.id) – Gelaran seni tradisional Sandur Bojonegoro ditampilkan secara apik oleh Sanggar Sayap Jendela Bojonegoro pimpinan Winarti S.Sn di halaman gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Jumat (11/10/2024).
Yang menarik, seluruh pemain dan pemusik yang berjumlah 36 orang itu terdiri dari para siswa SMA/SMK di Bojonegoro. Menggelar lakon Kembang Desa, pagelaran ini mendapat sambutan meriah para pengunjung yang memadati arena panggung terbuka.
Walaupun tidak diketahui sejak kapan kesenian ini lahir, namun beberapa seniman sepuh meyakini seni Sandur sudah ada sejak jaman kerajaan dan merupakan salah satu wujud dari kepercayaan animisme, yang dianut oleh leluhur pada masa itu.
Antara lain elemen “sedulur papat lima pancer” yang masih dipertahankan dalam pagelaran Sandur di masa kini. Selain di Bojonegoro, kesenian Sandur juga banyak ditemui di kabupaten Tuban, Jombang dan Madura, walaupun dengan versi beda.
Kesenian Sandur berbentuk teater tradisional dan merupakan perpaduan dari berbagai unsur seni. Antara lain, musik, drama, tari dan sastra. Biasanya kesenian rakyat ini digelar di lapangan atau area terbuka pada malam hari, dengan penerangan obor.
Penonton bebas menonton dari arah mana saja, sebab letak area panggung berada di tengah. Pertunjukan diawali dengan tari Jaranan dan diakhiri dengan atraksi kalongking.
Yakni atraksi akrobat yang menggambarkan hewan kalong atau kelelawar sedang mencuri hasil panen petani. Para pemain kalongking akan melakukan aksi akrobat dengan jungkir balik, salto atau bergelantungan di tali dan tiang.
Sedangkan pemain drama terdiri dari 5 orang dengan peran dan karakter tetap. Yakni tokoh Petak, Balong, Tansil, Cawik dan Germo, yang merupakan singkatan dari paugeran limo atau ketentuan lima perkara. Jika dikonotasikan, ketentuan lima ini bisa berarti lima rukun Islam.
Tokoh Germo ini merupakan yang dituakan dan bertindak sebagai pengatur laku serta pemberi wejangan. Ia berada di sisi tengah. Sedangkan empat pemainnya masing-masing berada di empat sisi area panggung, yakni sisi utara, selatan, barat dan timur. Blocking pemain itu menggambarkan “sedulur papat lima pancer” yang mempunyai makna sangat mendalam dalam filosofi budaya Jawa.
Cerita dibangun oleh keempat tokoh karakter tersebut, diselingi tarian dan nyanyian. Dialog pemain pun juga dilagukan, mengingatkan bentuk teater Opera Broadway. Cerita yang diangkat mengandung kearifan lokal.
Pada pementasan lakon Kembang Desa tersebut, mengisahkan Balong si pemuda desa yang bosan menjadi orang desa dan meninggalkan desanya untuk mengadu nasib ke kota.
Tapi saat Balong kembali ke desa, ia tidak mengenal lagi para saudara, sahabat dan orang-orang desanya. Tingkah dan dandanan Balong juga aneh. Akhirnya Balong disadarkan oleh Tansil untuk kembali ke jati dirinya sebagai orang desa dan membangun desanya kembali.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bojonegoro, Budiyanto S.Pd, MM, seni Sandur memang tidak hanya sebagai tontonan, tapi juga tuntunan. Sebagai seni tradisional khas Bojonegoro, pihaknya terus melakukan pembinaan terhadap perkembangan Sandur.
Saat ini di wilayah Bojonegoro masih banyak terdapat grup seni Sandur dari beberapa kelompok generasi. “Ada kelompok generasi 60-an dan generasi 90-an. Yang kita tampilkan ini generasi 2000-an. Sebagai warisan budaya, seni Sandur masih banyak diminati oleh generasi muda” ujar Budiyanto.
Selain Sandur, Bojonegoro juga menyimpan banyak seni tradisional. Antara lain wayang thengul, tari thengul, wayang krucil dan tayub. “Keseluruhan seni tradisional ini kita bina dan dikembangkan untuk memperkuat jati diri kabupaten Bojonegoro sebagai salah satu tujuan wisata Jawa Timur” ujar Kadisbudpar Bojonegoro tersebut. * (Sas)