Surabaya (prapanca.id) – Tari Remo kreasi Edgar Freire Garcia dari Ekuador Amerika Selatan ini sungguh menarik. Penampilannya dalam pembukaan pameran The Secret Archipelago di Resto Nine Surabaya tanggal 20 September 2024 lalu memukau pengunjung.
Walaupun tetap menggunakan musik gamelan Jawa Timuran dan gerak dasar tari Remo lengkap dengan selendang, namun Edgar menghilangkan beberapa pakem tari Remo. Ia tidak menggunakan busana pangeran tampan seperti layaknya kostum tari Remo, juga tidak menggunakan binggel lonceng di kaki. Namun ia menggunakan kostum sehari-hari masyarakat di negaranya, dilengkapi topi cowboy dan topeng, mengingatkan pada Zorro tokoh legenda Amerika. Kisah ksatria bertopeng ini sudah dikenal sebagian besar masyarakat Indonesia karena pernah diproduksi sebagai film seri di televisi dan film layar lebar.
Tari Remo versi asli menggambarkan perjuangan seorang pangeran atau putra raja di medan laga. Oleh karena itu gerakan tari ini bersifat maskulin, lincah dan energik. Dikutip dari buku Keanekaragaman Seni Tari Nusantara karya Resi Septiana Dewi (2012:32), tari Remo diciptakan oleh seniman asal Jombang bernama Cak Mo. Sebagai mantan penari jathilan Reog Ponorogo, Cak Mo menggabungkan unsur tayub, jathilan dan warok sambil menyanyikan tembang parikan. Ia dan istrinya berkeliling dari desa ke desa. Dan masyarakat mengenalnya sebagai tarian reyoge cak Mo, yang kemudian disingkat Remo.
Tarian remo itu kemudian menarik minat salah satu grup ludruk di Surabaya dan merekrut Cak Mo sebagai penari pembuka. Sejak 1907, tari Remo mulai digunakan sebagai salah satu pakem seni ludruk. Seiring perkembangan jaman, tari Remo kini juga digunakan sebagai pembuka acara perayaan, hajatan maupun kenegaraan.
Namun di tangan Edgar Freire, spirit tari Remo kreasinya bukan lagi gambaran seorang pangeran, melainkan karakter khas dan keseharian arek Suroboyo yang mekitik, pemberani dan bongol alias bandel. Namun walaupun mekitik, arek Suroboyo selalu hormat pada orangtua. Hal ini ditunjukkan Edgar dengan menyalami beberapa penonton sebelum naik pentas, yang merupakan bagian dari pertunjukan. Edgar juga memasukkan unsur tari balet dengan gerakan memutar badan dan tango dalam gerakannya.
Siapa Edgar Freire ? Ternyata ia bukan penari sembarangan. Ia adalah koreografer, penari, dan aktor asal Ekuador serta peneliti tari dan budaya Indonesia. Edgar merupakan Alumni Darmasiswa tahun 2013 dan 2016 di P4TK dan ISI Yogyakarta. Kecintaannya pada seni budaya Indonesia membuatnya kembali ke Indonesia untuk terus belajar seni tradisional secara mandiri mulai dari tari, gamelan, wayang orang, pencak silat, jemparingan, batik, dan sebagainya di berbagai pendopo dan sanggar seni.
Selain itu, ia juga berkeliling desa-desa di Indonesia untuk mencari kesenian dan kearifan tradisional setempat guna mempelajari teknik, filosofi, dan mistisisme di baliknya. Ia telah melakukan banyak kolaborasi dan lokakarya tari dengan seniman Indonesia. Selama tahun 2017 hingga 2022, ia bekerja sama dengan Kedutaan Besar Indonesia di Ekuador (KBRI Quito) untuk mempromosikan dan mengembangkan kegiatan dan proyek budaya guna membawa seni Indonesia ke masyarakat Ekuador. Sejak tahun 2018 ia membuka Klub Tari dan Gamelan Indonesia di Ekuador *(Sas)