Surabaya (prapanca.id) – Lek Jum, demikian panggilannya. Dalang Wayang Wolak Walik dan aktivis penggerak budaya desa itu telah berpulang pada Minggu (5/5/2024) siang.
Kepulangannya yang mendadak itu mengagetkan banyak pihak, terutama para pengurus dan anggota Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU.
Ia wafat di Kepanjen Malang, saat sedang dalam perjalanan menuju Jogjakarta untuk menghadiri acara Harlah Lesbumi ke-64.
Ki Jumali Dharmo Kondo, adalah nama besar di kalangan pegiat seni dan aktivis kebudayaan. Ia merupakan budayawan dan seniman yang produktif. Kepiawaiannya bermusik dan mendalang ia tampilkan di berbagai acara dan memukau para penonton, di antaranya Presiden Jokowi, dan Ketua Umum PBNU demisioner KH Said Aqil Siroj, KH Yahya Cholil Syaquf dan tokoh-tokoh lainnya.
Namun ia bukan dalang wayang kulit seperti pada umumnya, melainkan wayang kredo baru, yang unik, membumi dan sangat komunikatif.
Orang-orang menyebutnya wayang wolak-walik. Dinamakan demikian karena satu kelir atau layar sebagai media tempat wayang ditampilkan dapat dipakai oleh dua dalang sekaligus. Saat pentas, kedua dalang ini membawakan cerita yang saling berhubungan.
Cerita yang diangkat juga bukan diambil dari kisah Mahabharata maupun Ramayana seperti pada umumnya wayang purwa, melainkan cerita kehidupan sehari-hari, menyesuaikan kondisi atau tren yang ada.
Misalnya persoalan lingkungan, persatuan bangsa hingga ancaman intoleransi. Demikian pula karakter tokoh wayangnya juga karakter sehari-hari, baik karakter hewan maupun para tokoh bangsa seperti Gus Dur, Jokowi, Soekarno dan sebagainya.
Dalam setiap pementasan, Ki Jumali selalu melibatkan para penonton untuk bermain bersama secara aktif, melibatkan penonton, khususnya anak-anak, untuk ikut menjadi dalang. Dengan partisipasi para penonton, tokoh dan karakter dalam pentas wayang ini lebih bisa di eksplorasi. Sebagai dalang, ia berperan sebagai fasilitator dan ‘jembatan’ para anak ini untuk ikut bermain.
“Untuk itulah, saya menyebut wayang ini sebagai wayang partisipatif,” ujar pria asal Malang ini.
Menurut salah satu sahabatnya, Meimura, almarhum mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi. Sosoknya selalu bersemangat dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kreativitas seni.
Sebagai sesama pegiat teater, Meimura ingat keinginan kuat Ki Jumali untuk mewujudkan perguruan tinggi seni, khususnya teater di Surabaya. Untuk itulah Ki Jumali masuk ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Setelah lulus ia kembali ke Surabaya, mewujudkan cita-citanya.
“Jurusan ilmu teater di STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya) adalah hasil rintisan dia” ujar tokoh teater Jawa Timur tersebut.
Memang, Ki Jumali adalah Ketua Jurusan Teater pertama di sekolah tinggi kesenian tersebut. Menurut Mei, almarhum adalah seniman anti kemapanan.
Setelah merintis pendirian prodi ilmu teater di STKW, Ki Jumali kemudian lebih memilih keliling desa, menggerakkan budaya desa, dengan menggelar Wayang Wolak Walik, berteater dan bermusik. Dan sejak kapan Ki Jumali menambahkan Darmo Kondo di belakang namanya, Meimura menyatakan tidak tahu.
Dari beberapa referensi, Darmo Kondo adalah nama surat kabar dwi bahasa, bahasa Melayu dan bahasa Jawa, yang didirikan oleh Letnan Cina Tjoa Tjoe Kwan di Surakarta pada tahun 1903.
Surat kabar ini kemudian dibeli oleh organisasi Boedi Oetomo yang dipimpin oleh Dr. Sutomo pada tahun 1910. Pahlawan pergerakan ini pada tahun 1933 juga mendirikan Majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat yang sampai sekarang masih eksis.
Di bawah komando Boedi Oetomo, surat kabar Darmo Kondo merupakan surat kabar paling berpengaruh di masa itu dan paling gencar memberitakan gagasan-gagasan kebangsaan dan pergerakan nasional. Surat kabar ini menerima semua tanggapan masyarakat dengan objektif untuk menjadi wadah masyarakat dalam berdiskusi.
Bisa jadi filosofi Darmo Kondo ini yang menjadi alasan bagi Ki Jumali untuk menambahkan nama surat kabar tersebut pada nama belakangnya. Dan aktivitas yang dilakukan Lek Jum menunjukkan perhatiannya pada pendidikan kebangsaan dan keberpihakannya pada budaya desa.
Menurutnya, adat-istiadat dan budaya lokal desa harus terus diletarikan. Budaya asli orang desa seperti ngaji, yasinan, kenduri dsb harus disertifikatkan agar tidak punah. Budaya ini sangat penting untuk membentuk adat istiadat dan kegotong royongan masyarakat desa.
“Budaya desa wajib di uri-uri (dilestarikan) oleh kaum tua dan kaum muda, jika tidak demikian maka bisa punah,” ujarnya.
Kini Lik Jum telah tiada. Sosoknya yang selalu bersemangat dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kreativitas seni itu akan selalu dikenang sepanjang masa.
Selamat jalan Lek. Mugi kaswargan jati. (sas)