Surabaya (prapanca.id) – Bagi sebagian besar orang, menulis dianggap sebagai pekerjaan yang sulit. Apalagi menulis karya fiksi. Ide cerita sudah terbayang-bayang di benak.
Tapi bagaimana menuangkannya ke dalam tulisan. Bagaimana memulai kalimat pembuka, menyusun kalimat demi kalimat, merangkai plot cerita, karakter tokoh cerita dan sebagainya. Dan menulis novel, prosesnya bisa berhari hari. Maka kebanyakan pemula, atau yang masih belajar menulis, seringkali putus asa dan berhenti di tengah jalan, lalu berhenti menulis.
Padahal menulis itu gampang, kata Arswendo Atmowiloto (alm) dalam salah satu judul karya bukunya. Pekerjaan menulis bukan melulu faktor bakat, namun hasil dari kedisiplinan dan motivasi yang tinggi untuk menghasilkan sebuah karya.
Menyitir pendapat Ernest Hemingway, novelis dan wartawan Amerika peraih hadiah Nobel Sastra dan Pulitzer (penghargaan tertinggi untuk karya jurnalistik) tahun 1953, sesungguhnya teori menulis adalah “tulis, tulis, tulis”. Artinya, tidak perlu banyak pertimbangan dalam mulai menulis.
Hal ini dibuktikan oleh mantan Direktur Utama LPP TVRI Pusat (2008 – 2010), Hariono Santoso. Diam-diam arek Suroboyo kelahiran 10 April 1954 ini menerbitkan karya novel.
Meski merupakan karya pertamanya, namun novel ini tidak main-main. Terdiri dari 500 halaman, dan merupakan dua serial cerita (dwilogi), berjudul “Halimun Biru di Singosari dan Asmara Cempaka Gading”. Diterbitkan oleh Penerbit Meja Tamu Sidoarjo, Januari 2024.
“Menulis novel ini pengalaman baru bagi saya. Selama ini, mulai tahun 1974 sampai 2010, saya berkutat dalam kerja sebagai jurnalis dan awak media televisi” kata Cak Ono, panggilan akrabnya.
Novel dwilogi ini berlatar belakang sejarah periode akhir kerajaan Singosari dibawah perintah Prabu Kertanegara pada tahun 1292 M serta awal Kerajaan Majapahit.
Namun si penulis mengolah ceritanya dengan memasukkan unsur time traveler atau penjelajah waktu lewat tokoh utama bernama Arya Kumbara, seorang pemuda jaman now.
Pertemuan Arya dengan seorang gadis jelita bernama Sun Mi, yang hidup di masa akhir Singosari sangat menarik untuk disimak. Imajinasi pembaca diajak mengembara antara masa kini dan masa silam melalui Arya Kumbara, sang penjelajah waktu.
Menurut Imung Mulyanto, penyunting naskah, Cak Ono sangat piawai dalam membangun kontruksi dramatik. Peristiwa yang dibangun sangat dramatik dan penggambaran karakter tokoh utama juga detil. Konflik lahiriah dan batiniah yang dialami tokoh utama (protagonis) sambung menyambung dan konfliknya rasional. “Sangat menarik” ujar Imung.
Yang tak kalah menarik adalah proses kreatif mantan Dirut TVRI itu dalam menyelesaikan karya novelnya. Menurut Cak Ono, awal tahun 2022 adalah permulaan ia menulis logi pertama, yang ia tulis langsung di ponsel kemudian ia posting di status Facebook, sejak tanggal 2 sampai 23 Januari 2022, sebanyak 36 episode.
Semula pekerjaan menulis itu hanya iseng, mengisi waktu saat pandemi Covid yang harus diam di rumah.
Ternyata setelah di upload di FB banyak komentar dari teman-teman yang menyambut baik karya novelnya. “Lalu saya minta tolong cucu saya untuk membantu mengumpulkan postingan di FB dan memindahkan ke dalam format Pdf. Dan cerita bersambung di FB itu saya beri judul Halimun Biru di Singosari” ujarnya.
Sedangkan di logi kedua, ia tulis tangan menggunakan pulpen di buku mulai bulan Juni 2022 selama sekitar dua bulan. Kemudian naskah di buku itu ia tulis ulang di ponsel sambil melakukan koreksi naskah disana-sini, dan baru selesai pada awal November 2022. Kemudian Cak Ono minta tolong lagi pada cucunya untuk memindahkan ke format Pdf di komputer.
“Saya tidak punya komputer dan termasuk gagap teknologi” ujar lulusan S2 Administrasi Publik di sebuah perguruan tinggi di Surabaya ini.
Kedisiplinan dan motivasi yang kuat telah membuahkan karya Novel yang istimewa. Motivasinya makin kuat dan sedang bersiap untuk menulis sekuel kisah ketiga. Kini arek Suroboyo ini menikmati masa pensiunnya di Surabaya bersama sang istri tercinta, Wati Hariono, yang telah memberinya dua orang anak dan dua orang cucu (satu cucu meninggal dunia).
Waktu luangnya banyak diisi dengan membaca, menulis, mengurus tanaman, merawat koleksi barang-barang antiknya, wisata kuliner, atau jalan-jalan mencari tempat ngopi.
Sebelum bergabung dengan TVRI, sebenarnya Cak Ono, sudah menjadi jurnalis, sebagai koresponden “Selecta Group” terbitan Jakarta (1974-1975).
Pada tahun 1975, bergabung dengan TVRI sebagai kameraman dan reporter. Setelah menjalani tugas di berbagai daerah, Tahun 2008 diangkat sebagai Direktur Utama LPP TVRI Pusat sampai pensiun tahun 2010. (sas)