Surabaya (prapanca.id) – Hari Musik Nasional, yang jatuh setiap Tanggal 9 Maret diperingati untuk memberikan penghormatan dan penghargaan atas karya cipta musik di Indonesia. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menyelenggarakan beragam kegiatan untuk memperingati Hari Musik Nasional tahun 2024 yang sudah digelar sejak tanggal 7 Maret 2024. Puncak acara berlangsung di kota Pahlawan, dengan menggelar Mini Konser Kita Cinta Lagu Anak (KILA) dan Konser Musik Indonesia “Sang Garuda”, serta ziarah ke makam Bapak Musik Indonesia, Wage Rudolf (WR) Supratman, di Jl. Kenjeran, Surabaya.
Penentuan tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Indonesia berdasarkan pada tanggal lahir WR Supratman, yakni 9 Maret 1903. Hal ini berdasarkan usulan Persatuan Artis, Pencipta, dan Rekaman Musik Indonesia (PAPRI) kepada Megawati Sukarno Putri yang waktu menjabat Presiden RI. Sepuluh tahun kemudian baru ditetapkan melalui (Keppres) No. 10 Tahun 2013 di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kini tanggal 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional, sekaligus memberi gelar WR Supratman sebagai Bapak Musik Indonesia.
Namun ada beberapa hal yang belum banyak diketahui masyarakat umum mengenai prestasi, kehidupan pribadi serta perjuangan sang pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ini diantaranya:
Tanggal Lahir dua Versi
Suudah diketahui umum, WR Supratman dilahirkan di Jatinegara, Jakarta pada tanggal 9 Maret 1903. Namun versi lain mengatakan, dilansir dari situs Museum Sumpah Pemuda Kemendikbud, Wage Rudolf Soepratman atau WR Supratman lahir di Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Jumat Wage, 19 Maret 1903. Tiga bulan setelah lahir, WR Supratman dibawa orang tuanya pindah ke Jatinegara, Jakarta.
WR Soepratman merupakan putra dari seorang tentara KNIL berpangkat Sersan bernama Jumeno Kartodikromo. Beliau adalah anak ke-7 dari delapan bersaudara. Yaitu, Rukiyem, Slamet, Rukinah Supartinah, Rebo, Ngadini Supartini, Sarah, dan adiknya bernama Giyem Supartini. Dengan kata lain, ia adalah asli “wong jowo”.
Mengenai nama Belanda “Rudolf” di depan namanya, memang ada kisah tersendiri. Dalam buku “WR Supratman : Guru Bangsa Indonesia” oleh Lilis Nihwan, terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2018 diceritakan, Supratman kecil ikut kakak sulungnya bernama Rukiyem yang bersuamikan seorang instruktur kepala tentara KNIL bernama Willem van Eldik yang tinggal di Makassar, dan sekaligus juga dibiayai sekolahnya. Sebagai pribumi yang menempuh pendidikan di Sekolah Belanda, untuk memudahkan pendaftaran, namanya ditambah dengan Rudolf dan kelak dikenal dengan nama Wage Rudolf Supratman.
Dari kakak iparnya itulah beliau mengenal musik. Pada ulang tahunnya yang ke-17, kakak iparnya memberi kado sebuah Biola. Dan sejak itu beliau makin mencintai dunia musik. W.R. Supratman pintar memainkan nomor-nomor klasik karya Chopin, Beethoven, Liszt, dan Tschaikovsky. Ia tergabung dengan kelompok musik Black White Jazz Band yang dikomandani Van Eldik. Saat itu genre Jazz memang sedang trend.
Sebagai pemuda yang sangat kreatif, WR Supratman sudah mampu menciptakan beberapa lagu. Selain “Indonesia Raya”, beliau juga menciptakan lagu “Ibu Kita Kartini”, “Di Timur Matahari” dan beberapa lagi.
Karir Jurnalistik
Setelah lulus dari Sekolah Menengah di Makassar, WR Supratman menjadi guru di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Dasar untuk kaum pribumi) sambil menjadi wartawan di koran Pemberita Makassar, lalu di Pelita Rakyat (Makassar). Beberapa tahun kemudian, memutuskan hijrah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di koran Kaum Muda. Setahun kemudian, tepatnya 1925, dia hijrah ke Jakarta dan bekerja di koran “Sin Po”, surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu.
Pergulatannya di dunia jurnalistik ini mengantarnya banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan bangsa. Sejak saat itu, ia rajin menghadiri rapat-rapat organisasi pemuda dan partai politik yang diadakan di Gedung Pertemuan di Batavia. Supratman muda juga terlibat dalam Kongres Pemuda ke-2 pada 27-28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Di kesempatan inilah, lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan untuk pertama kalinya dengan iringan biolanya.
Pengembaraan kreatifitasnya makin deras. Selain mencipta lagu, WR Supratman juga menulis novel. Tercatat tiga karya novel yang sudah ditulisnya. Yakni : Perawan Desa, Darah Muda dan Kaum Fanatik. Ia membiayai sendiri penerbitan novel tersebut dan menjualnya dengan cara beriklan di Koran Sin Po. Novel “Perawan Desa” paling banyak disukai pembaca. Namun akhirnya pihak Belanda melarang dan menyita buku novel tersebut, karena isinya mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Sayang, sang maestro tidak sempat menyaksikan lagu ciptaanya berkumandang di seluruh Indonesia dan menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1938, ia wafat di Surabaya. (sas/ dari berbagai sumber)