Surabaya (prapanca.id) – OpenAI, perusahaan pengembang ChatGPT dan pembuat gambar DALL-E, mengumumkan bahwa mereka sedang menguji model teks-ke-video bernama Sora. Alat ini diklaim dapat memungkinkan pengguna untuk membuat video realistis dengan perintah-perintah sederhana.
“Ada klaim, Sora dapat menghasilkan adegan kompleks dengan beberapa karakter, jenis gerakan tertentu, dan detail yang akurat dari subjek dan latar belakang,” ungkap Athok Murtadlo, pemerhati teknologi informasi dari Stikosa AWS, saat ditemui pada Selasa (27/2/2024).
Uniknya, pihak OpenAI mengakui jika Sora masih memiliki keterbatasan sederhana, seperti kemungkinan salah mengenali kiri dan kanan.
“Produk visual berbasis artificial intelligence, baik image maupun video, sebetulnya bukan hal baru. Sora bukan yang pertama. Tetapi banyak yang membicarakan, bahwa ini akan jadi lompatan besar,” kata dosen kampus komunikasi tertua di Jawa Timur ini.
Lompatan yang dimaksud, katanya, bukan semata berdampak pada industri, tetapi juga individu pengguna. Karena menurut Athok, setiap proses kehidupan manusia, selalu butuh logika penting yang namanya kemudahan.
“Dulu untuk mengirim pesan harus pakai kertas, amplop, perangko. Lalu ke kantor pos. Sekarang email. Karena sangat dimudahkan, komunikasi konvensional ditinggalkan,” katanya.
Dijelaskan, kemudahan dan dampak tumbuh menjadi elemen penting dalam sebuah proses seleksi alam. Lalu kemudahan dan dampak besar juga tumbuh menjadi pemikat, alasan ketergantungan, dan masih banyak lagi.
“Saya sering mendengar, bagaimana AI jadi acuan rasionalisasi. Kita mencari referensi bukan dengan membaca bahkan melihat dari dekat. Tapi cukup dengan AI,” ungkap Athok.
Hal lain, kata dia, AI jadi asisten pribadi untuk pekerjaan-pekerjaan sekolah hingga profesional. Penyempurnaan AI, khususnya dalam Natural Language Processing atau NLP, membuat produk AI semakin manusiawi.
Seperti diketahui, NLP adalah kemampuan program komputer untuk memahami bahasa manusia, baik dalam lisan maupun tulisan.
“Teknologi NLP menggabungkan linguistik komputasi, pemodelan bahasa manusia berbasis aturan dengan model statistik, machine learning, dan deep learning,” jelasnya.
Itu sebabnya, di titik tertentu, AI berpotensi menjadi pendukung proses produksi bahkan mengganti sebagian fungsi sumber daya manusia. “Dan ini sudah terjadi kan,” tambah Athok.
Sejalan dengan pemikiran ini, Thomas Bellenger, pendiri dan art director dari Cutback Productions, dengan cermat mengamati perkembangan generasi gambar kecerdasan buatan.
“Ada yang merasa ini adalah gelombang besar yang tidak bisa dihentikan dan berkembang dengan kecepatan yang mengagumkan, dan ada yang tidak ingin melihatnya,” kata Bellenger, dikutip dari laman Voice of America.
Sebaliknya, sejumlah kekhawatiran mulai dirasakan para pekerja bahkan pelaku industri kreatif. Karena kemudahan dinilai selalu tumbuh menjadi ketergantungan. Lalu kepiawaian teknologi AI, secara langsung atau tidak, berdampak pada pemutusan hubungan kerja.
Awal tahun 2024, Google mem-PHK ratusan karyawannya. Mereka di-PHK adalah SDM di posisi assistant, devices, dan services. Juru bicara Google saat itu menyebut, “Sejak pertengahan 2023, tim kami menjalankan beberapa langkah perubahan agar lebih efisien dan bisa bekerja lebih baik”.
Pihaknya juga melakukan penyesuaian sumber daya mereka dengan produk prioritas utama. Beberapa tim masih terus melakukan perubahan organisasi ini, termasuk dihapusnya beberapa posisi secara global. Langkah yang dimaksud juga berhubungan dengan perubahan arah bisnis Google terkait tren teknologi AI.
Ubisoft, pengembang video game raksasa asal Prancis, juga menyambut baik pengumuman OpenAI sebagai loncatan kuantum ke depan, dengan potensi untuk membiarkan pemain dan tim pengembangan mengekspresikan imajinasi mereka. “Kami telah menjelajahi potensi ini untuk waktu yang lama,” ungkap juru bicara mereka.
Pada saat yang hampir bersamaan, Agensi Fred & Farid, yang telah bekerja sama dengan merek-merek seperti Longchamp dan Budweiser dan membuka studio yang didedikasikan untuk kecerdasan buatan pada awal Januari, mengantisipasi bahwa 80 persen konten merek akan dihasilkan oleh kecerdasan buatan.
Sementara Stephanie Laporte, chief executive dan pendiri agensi periklanan dan influencer OTTA, percaya bahwa teknologi ini akan memaksa industri untuk berkembang. Dia juga mengantisipasi bahwa perusahaan iklan dengan anggaran yang terbatas akan menggunakan alat kecerdasan buatan untuk menghemat biaya pekerja.
Dia percaya bahwa pengecualian mungkin terjadi di segmen mewah, di mana merek cenderung sangat peka terhadap otentisitas dan mungkin akan menggunakan kecerdasan buatan dengan bijaksana. (mi)