Gegap gempira pesta demokrasi lima tahunan, sudah berlalu. Tinggal menunggu pengumuman resmi Presiden/Wakil Presiden terpilih dan anggota legislatif yang akan mewakili suara rakyat seluruh Indonesia. Siapapun nanti yang terpilih, semua pihak harus legowo. Ibarat pertandingan, kalah atau menang itu biasa. Dan Presiden terpilih nantinya, sangat diharapkan membawa kemajuan dan kejayaan untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Selama mengikuti proses Pemilu, yang sangat menarik adalah mengamati strategi tim pemenangan masing-masing Paslon, khususnya penggunaan beragam teknik propaganda untuk mempengaruhi, bahkan menguasai opini publik. Sekedar contoh bisa disebutkan saat Jepang berkuasa di Indonesia pada tahun 1942-1945. Jepang mengembangkan propaganda Ajia no hikari Nippon, Ajia no botai Nippon, Ajia no shidōsha Nippon (Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia, Jepang pemimpin Asia) dan menyebut sebagai “saudara tua” untuk meraih simpati rakyat Indonesia yang selama ratusan tahun dijajah Belanda. Untuk menguasai opini publik, Jepang melarang penerbitan media massa, khususnya surat kabar berbahasa Belanda. Beberapa surat kabar berbahasa Melayu yang diijinkan terbit, harus melalui seleksi yang sangat ketat.
Ada banyak definisi propaganda dari para ahli. Dalam konteks tulisan ini, pengertian propaganda dirunut dari Encylopedia International yakni suatu jenis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa mengindahkan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang disampaikan. Dan media menjadi alat propaganda yang efektif untuk menghasilkan serta membentuk pemikiran dan pola pikir masyarakat.
Propaganda adalah suatu komunikasi dengan menggunakan teknik komunikasi persuasif di mana dampak yang ditimbulkan lebih tinggi kadarnya dibandingkan dengan komunikasi informatif, yakni dampak kognitif, dampak afektif, dan dampak behavioral (Onong, 2000:22). Propaganda tidak menyampaikan informasi secara objektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk mempengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya.
Hal itu bisa dilihat dari pelaksanaan Pemilu 2019. Kekuatan propaganda yang disalurkan melalui berbagai platform media sosial, dengan pemantik para buzzer, menghasilkan polarisasi politik yang cukup tajam. Misalnya sebutan “kadrun” untuk para pendukung paslon Prabowo Subianto/Sandiaga Uno dan “cebong” untuk pendukung Jokowi/KH Ma’ruf Amin. Demikian pula pemberian label “radikal” pada sekelompok orang Islam tertentu.
Dalam Pemilu 2024, sebutan ‘kadrun-cebong’ itu nyaris tidak bergaung lagi. Walaupun demikian, dari 22 teknik propaganda (menurut situs The University of Vermont), ada 8 teknik propaganda yang sering digunakan peserta Pemilu 2024, baik Capres/Cawapres, Parpol maupun Caleg. Antara lain :
1) Name Calling atau stereotyping. Yakni dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk kepada kelompok “lawan”. Pada Pemilu 2019 terwujud melalui sebutan “Cebong vs Kadrun”. Pada Pemilu 2024 antara lain terwujud lewat label : penyuka bokep, unta Yaman, Samsul, si belimbing sayur, bapak politik indentitas dan sebagainya.
2) Glittering Generalities: merupakan kebalikan dari Name Calling. Yakni dengan menggunakan kata-kata muluk agar rakyat bersimpati tanpa mempertanyakan faktanya. Propaganda Jepang diatas, yang menyebut “saudara tua” serta Jepang Cahaya Asia adalah salah satu contohnya. Biasanya tim propagandis sudah mengkondisikan jauh-jauh hari menjelang kampanye, berupa tulisan maupun konten di medsos yang isinya sanjungan terhadap Capres maupun Caleg. Teknik ini mengingatkan pada gaya bertutur pujangga pada jaman dulu yang isinya menyanjung Raja secara berlebihan.
3) Transfer: teknik ini menggunakan pengaruh dari seorang tokoh yang paling berwibawa di lingkungan tertentu untuk menarik simpati calon pemilihnya dan memperoleh keuntungan psikologis jika mempunyai hubungan dekat dengan tokoh tersebut. Beberapa Caleg memanfaatkan nama besar ayahnya dengan memasang gambar ayahnya di poster/alat peraga kampanye. Salah satu Capres pernah disebut mempunyai garis keturunan dengan salah satu Wali Songo dalam sebuah artikel di media massa dan media online.
4) Testimonials: menggunakan kutipan atau mensitir kata-kata orang-orang terkemuka yang mempunyai otoritas dan prestise sosial tinggi tentang gagasan atau pribadi si calon. Dengan kata lain, menonjolkan kesaksian positif dari para tokoh terkenal. Ungkapan positif alm. Gus Dur puluhan tahun yang lalu terhadap Capres Prabowo Subianto masih sering diulang dalam kampanye Pilpres ini.
Teknik Testimonial ini juga sering dipakai dalam pemasaran produk kesehatan pada iklan televisi maupun home shopping, yakni dengan menayangkan atau memuat kesaksian dari para konsumen yang telah menggunakan produk tersebut. Teknik Testimonial cukup efektif untuk meyakinkan calon konsumen, tanpa mengkaji fakta secara cermat.
5) Plain Folk. Terjemahan bebasnya : orang/rakyat biasa. Sesuai sebutannya, teknik ini mengidentifikasi sang propagandis seolah-olah seperti rakyat juga. Dalam pandangan Mulyana (2008: 117) bahwa kesamaan dalam hal-hal tertentu seperti Agama, ras (suku), bahasa, tingkat pendidikan, atau tingkat ekonomi akan mendorong orang-orang untuk saling tertarik dan pada gilirannya komunikasi mereka menjadi lebih efektif.
Teknik ini banyak dipakai oleh kontestan Pemilu. Antara lain dengan membuat konten propaganda yang menggambarkan si tokoh berada dan dekat dengan rakyat, ikut menanam padi di sawah, bermalam di rumah penduduk dan sebagainya. Demikian juga dalam hal kesamaan bahasa, yakni menggunakan ungkapan berbahasa daerah di spanduk maupun baliho kampanye.
6) Card Stacking. Terjemahan bebas dari penumpukan kartu. Namun secara makna adalah upaya menutupi hal-hal yang faktual seraya mengemukakan bukti- bukti palsu, sehingga banyak orang akhirnya tertipu. Persis seperti permainan ilusi kartu yang biasa dimainkan tukang sulap. Pengertian lainnya adalah komunikasi propoganda dgn menyajikan bagian menarik tertentu dan menyamarkan sisi yg berpotensi kurang menguntungkan. Untuk merancang strategi propaganda jenis ini memang dibutuhkan keahlian khusus mengingat jejak digital keburukan masa lalu sulit dihapus.
7) Bandwagon. Berarti “kereta musik”, yakni kendaraan yang digunakan untuk mengangkut rombongan musik dan mengajak khalayak untuk beramai-ramai mengikuti rombongan.
Sesuatu yg menarik (misalnya kegembiraan, konser musik, fitur gambar), atau hasil polling sementara, yang menunjukkan keunggulan, sangat efektif digunakan untuk mengarahkan pilihan publik mengikuti daya tarik suara mayoritas yg ada. Efek ikut-ikutan ini cukup ampuh menyasar publik yang masih ragu-ragu dalam menentukan pilihan. Di kampanye Pemilu 2024, teknik Kereta Musik ini banyak dipakai oleh salah satu paslon.
8) Persuation (persuasif). Yakni dengan membujuk orang lain dengan rayuan himbauan dan “iming-iming”. Antara lain penggunaan janji-janji untuk memperoleh simpati masyarakat. Misalnya apabila partai A menang maka sekolah akan digratiskan, makan siang gratis, dan sebagainya. Teknik tebar janji ini banyak dipakai oleh seluruh peserta Pemilu.(sas)