Surabaya (prapanca.id) – Tidak banyak orang tahu, terutama generasi Z, bahwa majalah tertua di Indonesia berada di jantung kota Surabaya. Yakni majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat (PS).
Di usia hampir satu abad, majalah mingguan ini masih tetap eksis terbit berbentuk cetak. Di era digital ini, disaat banyak media cetak gulung tikar atau bertransformasi ke media online, majalah ini tetap konsisten terbit tanpa sekalipun absen, kecuali di masa pendudukan Jepang tahun 1942.
Pada saat itu penjajah Jepang memang melarang penerbitan seluruh media pers di Indonesia. Posisinya sebagai majalah tertua di Indonesia yang masih eksis sudah tercatat dalam museum rekor MURI.
Majalah berbahasa Jawa ini didirikan oleh pahlawan nasional, dr Soetomo, pada tanggal 2 September 1933. Beliau juga pendiri Budi Utomo (Boedi Oetomo), 20 Mei 1908, organisasi modern pertama di Indonesia.
Dari Budi Utomo inilah kemudian digagas Kongres Pemuda ke-2 yang melahirkan Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928 yang setiap tahun diperingati seluruh bangsa Indonesia.
Dengan jumlah karyawan sekitar 30 orang, majalah ini masih menempati gedung kantor sejak pertama kali didirikan, yaitu di Jl. Bubutan 87 Surabaya. Bersebelahan dengan makam Dr Soetomo di komplek Gedung Nasional Indonesia (GNI).
Maka berkunjung ke kantor Majalah Penyebar Semangat, sekaligus juga bisa melihat jejak sejarah perjuangan pendirinya, dr Soetomo, yang tersimpan di dalam museum di komplek GNI.
Masuk ke dalam kantor redaksi majalah, suasana jadul langsung terasa. Terdapat beberapa almari kuno besar menyimpan koleksi bendelan majalah PS edisi lama, edisi tahun 50-an, yang masih menggunakan penulisan ejaan lama. Jika melihat-lihat isinya, beberapa rubrik ternyata masih ada di penerbitan edisi 2024 sekarang.
Antara lain rubrik Apa Tumon, Alaming Lelembut (kisah misteri), Crita Cekak (cerita pendek), Pedhalangan (cerita wayang), dan sebagainya.
Menurut Donny Tunggul, redaktur pelaksana, rubrik-rubrik tersebut memang sangat disukai pembaca lintas generasi, dan menjadi ciri khas majalah berbahasa Jawa ini. “Kita tidak pernah mengulang pemuatan, dan tidak pernah kekurangan bahan, karena selalu ada kiriman naskah dari berbagai daerah” kata alumni Stikosa-AWS itu.
Di dinding ruang redaksi terpampang pigura besar berisi lembaran reproduksi edisi pertama majalah PS, yang masih berupa lembaran koran. Pada awal penerbitan, majalah ini masih berupa lembaran koran.
Baru pada tahun 1935, majalah ini menjadi bentuk tabloid dan beberapa edisi selanjutnya menjadi bentuk majalah. Di edisi pertama tersebut tertulis motto majalah PS yang masih digunakan hingga kini, yakni ungkapan dari Sunan Kalijogo yang sangat terkenal, Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti. Artinya, segala kekuatan kemungkaran akan hancur oleh kebaikan, kesabaran, dan kasih sayang.
Melihat proses produksinya, pengunjung akan mendapat gambaran bagaimana proses penerbitan media cetak pada masa dulu, sebelum era tahun 70-an, saat pemanfaatan komputer dan internet belum dikenal dalam industri surat kabar atau majalah.
Walaupun pekerjaan keredaksian sudah menggunakan komputer, namun bidang lain masih manual. Beberapa mesin ketik manual kuno masih digunakan oleh staf tata usaha.
Demikian juga artistik tata letak atau lay out majalah yang masih menggunakan cara konvensional. Seorang petugas setter akan mengetik naskah yang sudah disetujui oleh redaksi pada mesin ketik elektronik (mesin setter), menggunakan kertas kalkir, sesuai kolom majalah.
Kemudian petugas lay out akan menata kertas kalkir itu di atas meja lay out, dengan peralatan gunting, pisau cutter dan selotip bening, sesuai pola yang sudah dibentuk.
Hasil final lay out diproses diatas plat aluminium untuk dimasukkan di mesin cetak offset. Mengamati proses cetak, seolah dibawa ke masa silam saat media cetak belum mengenal komputerisasi untuk menjalankan operasional sehari hari.
Kisah bagaimana kegigihan pengelola majalah ini bertahan menghadapi gempuran persaingan media, ditambah makin berkurangnya pengguna bahasa Jawa di kalangan masyarakat Jawa juga menarik untuk disimak.
Dengan harga langganan Rp 72 ribu per bulan dan terbit mingguan, majalah ini beroperasional nyaris tanpa iklan, hanya mengandalkan pemasukan dari para agen dan langganan di berbagai daerah.
Menurut cerita Donny, majalah ini beberapa tahun lalu nyaris kolaps karena ulah beberapa agen yang nunggak pembayaran sampai berbulan-bulan. “Kerugian mencapai 1 milyar lebih. Dan kami terpaksa mendatangi rumah agen satu persatu di berbagai kota untuk menagih pembayaran” ungkap Dony.
Pimpinan Umum Majalah PS, Kustono, menyatakan niatnya untuk terus bertahan menerbitkan majalah legendaris ini. “Almarhum kakek saya sudah wanti-wanti untuk tetap bertahan apapun situasinya” kata Kustono, yang merupakan generasi ke-empat pimpinan umum majalah.
Paket wisata sejarah di Majalah legendaris itu bisa dilengkapi dengan perjalanan melihat jejak sejarah lain di dekat kantor Majalah PS.
Antara lain melihat Meriam peninggalan VOC yang dibuat tahun 1901. Terletak di kantor Polsek Bubutan, samping gedung GNI. Jika masih belum capek bisa meneruskan perjalanan ke kampung lawas Maspati yang hanya berjarak sekitar 200 meter. Kampung lawas Maspati juga sudah ditetapkan oleh Pemkot Surabaya sebagai tujuan wisata heritage dan cukup banyak dikunjungi wisatawan. (sas)