Jakarta (prapanca.id) – Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Meutya Hafid, memberikan tanggapan terkait netralitas Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024. Hal ini menyusul pernyataan Presiden saat mendampingi Menhan dan Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, dalam acara penerimaan pesawat Super Hercules C-130J-30 di Bandara Halim Perdanakusuma, Rabu (24/1/2023).
Menurut Meutya Hafid, Jokowi hanya memberikan jawaban terbuka terkait hak presiden untuk memilih. Saat ditanya wartawan mengenai hak presiden memilih, Jokowi menjawab, “Kita lihat nanti”. Meutya menegaskan bahwa hingga saat ini, Presiden Jokowi tetap netral.
“Dengan jawaban yang diberikan, beliau tidak menutup kemungkinan, namun masih bisa diartikan sebagai sikap netral hingga saat ini,” ujar Meutya.
Politikus Partai Golkar ini menekankan pentingnya menghargai pernyataan Presiden Jokowi. Baginya, Jokowi tetap tidak menunjukkan keberpihakan kepada salah satu paslon peserta pemilu, meskipun banyak persepsi dan tuduhan yang muncul.
“Dengan sekian banyak persepsi dan tuduhan, beliau (Jokowi) tetap bertahan dalam kerangka tidak mendukung paslon, kemudian tidak menunjukkan keberpihakan,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman, memberikan klarifikasi terkait tudingan bahwa Presiden Jokowi tidak netral karena memberikan sinyal dukungan untuk paslon nomor urut 02. Menurutnya, secara hukum, Presiden Jokowi sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki hak individu untuk mendukung paslon manapun, termasuk Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.
Habiburokhman menjelaskan bahwa setiap WNI dijamin hak politiknya, dan Presiden RI memiliki hak untuk mengungkapkan dukungannya selama tidak menyalahgunakan kekuasaan.
Ia memastikan bahwa aturan yang ketat masih berlaku untuk mencegah presiden menggunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau calon yang didukung.
“Presiden boleh mengungkapkan dukungannya selama tidak menyalahgunakan kekuasaan. Aturan berlapis dan lembaga penegak hukum yang ada akan memastikan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan,” ujar Habiburokhman.
Dalam konteks Pemilu 2024, aturan tersebut mencakup Pasal 306 UU Nomor 7 Tahun 2017, yang mengatur bahwa pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehoratan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akan memantau langkah-langkah seputar pemilu untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
“Kita tidak perlu khawatir, karena ada aturan dan lembaga penegak hukum yang jelas untuk memastikan tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan,” pungkasnya. (agu)