Pemilihan Umum 2024 bakal diwarnai dinamika menarik. Data yang dilansir Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2023, menunjukkan bahwa generasi muda akan menjadi kelompok pemilih terbesar dengan persentase mencapai 60 persen atau setara dengan 114 juta pemilih.
Badan Pusat Statistik pada akhir Januari lalu merilis hasil Sensus Penduduk tahun 2020. Dari hasil survei tersebut diperoleh gambaran demografi Indonesia yang mengalami banyak perubahan dari hasil sensus sebelumnya di tahun 2010. Sesuai prediksi dan analisis banyak kalangan, Indonesia tengah berada pada periode bonus demografi. Menariknya, hasil sensus 2020 menunjukkan komposisi penduduk Indonesia yang sebagian besar berasal dari Generasi Z/Gen Z (27,94 persen), yaitu generasi yang lahir pada antara tahun 1997 sampai dengan 2012. Sementara generasi milenial yang digadang-gadang menjadi motor pergerakan masyarakat saat ini, jumlahnya berada sedikit di bawah Gen Z, yaitu sebanyak 25,87 persen dari total penduduk Indonesia. Ini artinya, keberadaan dua generasi muda ini memegang peranan penting dan memberikan pengaruh pada perkembangan Indonesia saat ini dan nanti.
Generasi Muda dan Social Media Habbits
Sebagian besar dari 602 Gen Z dalam survei Indonesian Gen Z Report yang dilakukan IDN Research Institute, menyebutkan bahwa mereka menghabiskan sekitar 1-6 jam di media sosial setiap harinya. Dalam survei tersebut, 13 persen dari responden melaporkan menggunakan media sosial kurang dari satu jam setiap hari. Yang paling rajin mengakui bahwa mereka menggunakan media sosial selama 6-10 jam (14 persen) dan bahkan lebih dari 10 jam (5 persen) – yang mengarah ke julukan “online secara kronis”.
East Ventures – Indeks Daya Saing Digital, sebuah laporan tahunan yang mengukur daya saing digital provinsi-provinsi di Indonesia, menemukan dalam edisi 2023 menemukan bahwa adopsi digital telah lebih merata di semua provinsi (kecuali provinsi-provinsi baru) yang telah dipetakan selama empat tahun berturut-turut. Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa adopsi digital di Indonesia terus menunjukkan tren yang positif.
22 persen dari responden yang diteliti terutama menggunakan media sosial untuk mengakses berita dan memperoleh informasi baru. Sementara itu, 15 persen dari mereka memanfaatkan untuk menjaga pertemanan dan koneksi mereka. Sebanyak 5 persen dari responden hanya menggunakan media sosial untuk mengikuti pemengaruh (influencer). Namun, mayoritas yang mencakup lebih dari setengah responden, terlibat dalam semua aktivitas di media sosial.
Dalam laporan tersebut, secara khusus, media sosial juga disebut telah mengambil peran sebagai mesin pencari untuk pengguna yang lebih muda, yang mencerminkan berbagai aspek utilitas dalam kehidupan mereka. Hal ini selaras dengan pengamatan Wakil Presiden Senior Google Knowledge & Information, Prabhakar Raghavan. Dia mengatakan bahwa di antara pengguna Gen Z berusia 18 hingga 24 tahun di AS, 40 persen di antaranya menggunakan platform seperti TikTok dan Instagram untuk menemukan tempat makan siang, melewati mesin pencari tradisional seperti Google atau Google Maps. Fenomena ini fenomena ini menggarisbawahi pengaruh mendalam dari media sosial dalam membentuk perilaku pencarian informasi generasi muda.
Sebagai platform media sosial, Instagram terus menjadi yang teratas bagi Gen Z Indonesia, dengan persentase pengguna laki-laki (53 persen) dan perempuan (52 persen). Ini tetap semacam taman bermain digital harian mereka yang menawarkan jenis konten yang beragam, termasuk foto, video, dan artikel. Namun, kemudian daya pikat TikTok menarik perhatian 36 persen responden perempuan dan 29 persen laki-laki. Keunggulan TikTok terletak pada format video berdurasi pendek yang ringkas dan sarat informasi dan langsung ke inti permasalahan. Ini membuat Tik Tok sangat menarik bagi audiens generasi Z yang digerakkan oleh visual dan haus akan konten.
Migrasi Gen Z ke TikTok juga dapat dilihat sebagai reaksi mereka terhadap tekanan kebutuhan untuk menampilkan profil melalui feed Instagram yang tanpa cela. Ini semacam ‘merek dagang’ yang menjadi penciri platform Instagram. Kebutuhan untuk menampilkan profil yang sempurna dan menyenangkan secara estetika, telah memunculkan penggunaan “finsta” atau akun Instagram ‘palsu’.
Lewat “finsta” ini, Gen Z bebas berbagi “sampah” berupa gambar buram, resolusi rendah, dan tidak estetis yang biasanya tidak akan menemukan tempat di akun utama mereka. TikTok, di sisi lain, menawarkan kelonggaran dari tuntutan Instagram. Ini memungkinkan pengguna untuk mengkonsumsi konten tanpa kewajiban untuk secara cermat mengkurasi profil mereka sendiri atau mempertahankan koneksi dengan teman dan keluarga di dunia nyata. Bagi banyak orang di Gen Z, TikTok berfungsi sebagai tempat perlindungan di mana mereka dapat melarikan diri dari tekanan Instagram dan menjadi diri mereka sendiri, bebas dari batasan estetika yang sempurna.
Romantisisme Kampanye Konvensional
Melihat fenomena dari hasil penelitian di atas, rasanya para capres dan caleg patut mempertimbangkan model kampanye yang dilakukan untuk meraih suara para pemilih muda ini. Kita bisa melihat bahwa para caleg masih terjebak dalam romantisisme model-model kampanye konvensional ala baliho dan poster yang dipasang di ruas-ruas jalan protokol. Baliho dan poster-poster tersebut memenuhi bahu jalan, ditempel sekadarnya di tiang-tiang listrik, pepohonan, atau sandaran kayu yang dibuat asal-asalan. Bukan hanya menyesakkan mata, namun kondisi di beberapa tempat berpotensi membahayakan pengguna jalan: rubuh karena baliho terlalu besar dengan tiang yang ringkih, atau meleyot karena diterpa hujan dan tidak segera dibenahi.
Selain beralih menjadi sampah visual, baliho dan poster kampanye para kandidat legislator ini juga belum mampu ‘menyentuh’ hal-hal yang bersifat substansial. Baliho dan poster kampanye hanya memuat jargon-jargon semu atau klaim-klaim yang bertujuan menunjukkan bahwa mereka layak dipilih. Beberapa di antaranya bahkan terkesan seadanya dan tidak bermakna. Nyaris tidak ada kampanye yang secara jelas menggambarkan apa yang sudah mereka lakukan selama menjadi anggota legislatif. Atau jika mereka baru hendak maju, entah melalui partai yang telah ada ataupun partai baru, setidaknya mereka perlu menjelaskan siapa mereka? Apa yang akan mereka lakukan jika nanti terpilih? Apa visi misi partai baru ini? Publik perlu mengetahuinya, alih-alih hanya sekadar diyakinkan bahwa para caleg ini akan bekerja secara ikhlas dan amanah, yang mestinya sudah menjadi sesuatu yang niscaya.
Smart Champaigne dan Ruang Publik yang Memberdayakan
Sebagai pemilih dengan jumlah terbesar pada Pemilu tahun ini, pemilih muda bisa menjadi potensi sekaligus ancaman. Potensi bahwa suara mereka mampu menjadi agen perubahan, sekaligus ancaman sebagai satire atas kekhawatiran apatisme pemilih muda yang berujung dengan pilihan tidak mencoblos. Kekhawatiran ini perlu diantisipasi terutama oleh penyelenggara pemilu dengan pendidikan politik yang masif menjelang pelaksanaan pemilu.
Karakteristik digital native para pemilih muda yang seharusnya mengubah model pendidikan politik maupun kampanye belum secara sungguh-sungguh digarap. Bukan hanya dari sisi format atau bentuk, namun lebih penting lagi, secara substansial. Para calon pemilih, bukan hanya memiliki kebutuhan untuk mendapatkan informasi tentang siapa dan nomor berapa yang akan mereka coblos, sebagaimana dimuat dalam baliho, poster, dan selebaran-selebaran kampanye. Namun juga rekam jejak para kandidat presiden maupun anggota legislatif ataupun visi misi program yang akan mereka lakukan jika nanti mereka terpilih.
Pendidikan politik yang saat ini dilakukan harus diakui masih sangat minim. Perguruan tinggi misalnya, sebagai salah satu ruang publik para pemilih muda mestinya bisa digunakan sebagai ruang publik yang kritis dan memberdayakan. Namun ini tampaknya juga belum dimanfaatkan dengan maksimal. Padahal sebenarnya peran ini bisa dilakukan jauh-jauh hari oleh partai-partai politik. Media sosial macam Instagram dan Tiktok pun belum banyak diberdayakan oleh para caleg untuk mendekatkan diri pada calon pemilihnya.
Problem lain adalah bahwa pilihan media yang digunakan untuk literasi politik sebagian besar masih berfokus di televisi yang notabene sudah tidak lagi ditonton oleh generasi muda. Sementara, media sosial para caleg yang diharapkan mampu menjangkau para pemilih muda itu, juga belum memenuhi ‘standar’ konten yang mendidik, informatif, sekaligus menghibur.