Surabaya (prapanca.id) – Setelah diteropong lebih dalam, Sungai Kalimas yang membelah kota Surabaya dari ujung utara di Tanjung Perak sampai ujung selatan di wilayah Ngagel, ternyata menyimpan banyak jejak sejarah yang sangat menarik.
Setidaknya ada 73 jejak sejarah yang bisa ditemui di sepanjang bantaran Sungai Kalimas, mulai dari era klasik (Singasari-Majapahit), era kolonial, pergerakan hingga kemerdekaan.
Rangkuman jejak sejarah itu ditulis secara apik dalam buku karya Nanang Purwono Meneropong Sejarah Surabaya Dari Sungai Kalimas, yang sudah di rilis pertengahan tahun 2023 lalu. Buku setebal 190 halaman itu diterbitkan oleh Begandring Soerabaia, komunitas para pegiat sejarah di Surabaya yang berdiri sejak 2018.
Di sela kesibukannya sebagai heritage activist dan redaktur senior di media online begandring.com, Nanang merekontruksi sejarah Surabaya yang tersebar di sekitar Sungai Kalimas, mulai dari Ngagel hingga Tanjung Perak. Yang menarik, sebagai mantan jurnalis TV, Nanang mengemas karya bukunya mirip format program dokumenter televisi.
Ia menggiring pembaca untuk menyusuri delapan kluster jejak sejarah di sepanjang Sungai Kalimas tersebut, dilengkapi dengan foto-foto dan peta jaman kuno. Delapan kluster tersebut yakni : kluster DAM Ngagel, Jembatan BAT, Jembatan Gubeng, Jembatan Simpang, Jembatan Peneleh, Jembatan Pasar Besar, Jembatan Merah dan Jembatan Petekan. Setiap kluster mempunyai kisah jejak sejarah yang menarik.
Pada bab kluster DAM Ngagel, dibahas tentang pintu air Jagir, instalasi PAM, jembatan Wonokromo dan Stasiun Wonokromo. Pintu air Jagir dibangun pada tahun 1917 oleh pemerintah kolonial Belanda untuk pengendalian banjir dan persediaan pasokan air minum bagi warga kota Surabaya. Pintu air ini sudah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya nasional pada tahun 1996. Menurut papan pengumuman dari Dinas Pariwisata Kota Surabaya yang terpampang di area pintu air Jagir, kawasan ini merupakan tempat bersauhnya armada tentara Tar-Tar dari Mongol yang akan meninggalkan Pulau Jawa setelah dikalahkan oleh tentara Raden Wijaya yang selanjutnya menjadi Raja Majapahit.
Sedangkan stasiun Wonokromo dibangun sekitaran tahun 1878-an. Pada jaman itu, Wonokromo termasuk daerah luar kota Surabaya, sehingga bangunan stasiunnya beda dan lebih kecil dari stasiun Semut dan Gubeng, yang termasuk wilayah kota. Stasiun ini menjadi saksi sejarah peristiwa Gerbong Maut yang terjadi pada 23 November 1947. Yakni peristiwa pemindahan tawanan yang dikawal Marinir Belanda dari Bondowoso ke Surabaya menggunakan kereta api dengan angkutan gerbong yang tertutup rapat.
Dari 90 orang tawanan, tercatat 46 orang meninggal dunia. Mereka terdiri dari beragam profesi. Ada tentara, polisi, pamong praja dan rakyat. Bisa dibayangkan betapa tersiksanya para tawanan itu. Di dalam satu gerbong kereta barang yang terkunci dari luar, berdesakan sebanyak 90 orang dan tak ada ventilasi udara. Menurut cerita yang beredar, jenazah para tawanan itu dibuang di Sungai Jagir, diatas jembatan Wonokromo.
Pada bab klaster Jembatan Peneleh, ditemukan banyak sekali Jejak sejarah kota Surabaya mulai jaman Majapahit sampai perjuangan kemerdekaan. Jembatan Peneleh yang dibangun pada tahun 1890-an masih dipertahankan keasliannya hingga kini. Jembatan ini menjadi saksi sejarah perjuangan arek-arek Suroboyo, khususnya pemuda kampung Peneleh, saat melawan tentara Sekutu pada tahun 1945. Dari atas jembatan itu, para pemuda memblokir laju tentara Sekutu dan terjadi baku tembak yang sengit. Beberapa peluru tentara Sekutu menghantam pagar jembatan. Akibatnya beberapa bagian jembatan ada yang penyok dan berlubang. Bukti pertempuran itu menjadi salah satu materi wisata sejarah di kawasan Peneleh.
Di kampung Peneleh ditemukan banyak sekali peninggalan sejarah. Antara lain, rumah tempat lahir Presiden pertama RI, Bung Karno, dan rumah pahlawan nasional, HOS Tjokroaminoto yang dahulu menjadi pusat pergerakan untuk merebut kemerdekaan, juga masjid tertua peninggalan Sunan Ampel. Sedangkan peninggalan arkeologi yang ditemukan di kampung Peneleh adalah Sumur Jobong, sumur kuno yang juga banyak terdapat di Trowulan, ibukota Majapahit. Sumur Jobong di Peneleh ini menurut penelitian arkeologi sudah ada sejak tahun 1430, yakni masa kerajaan Majapahit.
Pemerintah kota Surabaya menetapkan kampung Peneleh sebagai destinasi wisata kota Surabaya. Sebagai kampung tertua di Surabaya, kampung Peneleh menyimpan jejak sejarah dari abad 13 sampai abad 20.
Walaupun bukan berlatar belakang pendidikan Sejarah, namun Nanang Purwono cukup detil dalam mengurai jejak sejarah yang terdapat di sepanjang Sungai Kalimas. Menurutnya, apa yang ia tulis dalam buku ini merupakan poin-poin besar yang diprioritaskan. Masih ada lagi penulisan buku sebagai kelanjutan poin besar tersebut. Dan “Meneropong Sejarah Surabaya dari Sungai Kalimas” adalah buku ke-empat yang ditulisnya.
Dari riwayat pendidikannya, Nanang Purwono adalah Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris dari Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan jenjang MA Television Journalism di Nottingham Trent University, Nottingham, Inggris. (sas)